BERSYUKUR KARENA TAK PUNYA HATI
Suatu hari
seorang jemaat bersaksi dalam suatu ibadah.
Saya sangat
bersyukur beroleh keselamatan setelah menerima Yesus sebagai Tuhan dan
Juruselamat dalam hidupku. Dan hal yang kedua yang paling saya syukuri setelah
menerima Yesus adalah karena Dia membuat saya tidak
lagi memiliki hati (diam
sejenak). Jemaat yang sedang mendengar kesaksian pun hening (tadinya ada
sedikit suara), mereka ingin segera mendengar lanjutan kesaksian ibu tersebut.
Ibu itu melanjutkan kesaksiannya. Dulu, setiap hari saya selalu
sakit hati. Mendengar omongan tetangga saya sakit hati, di tempat bekerja saya
selalu sakit hati, dengan orang-orang di gereja pun saya sakit hati. Bahkan
saat hamba Tuhan berkhotbahpun membuat saya sakit hati. Sakit hati membuat
hidup saya tidak pernah merasa bahagia, sepanjang hari saya selalu memikirkan
apa yang dikatakan orang lain, padahal orang yang berbicara belum tentu mengatakan
itu untuk saya.
Saya kadang sempat berpikir, mengapa saya harus sakit hati,
khususnya jika ada hamba Tuhan yang agak keras dalam menyampaikan firman Tuhan.
Jika memang firman itu mengarah kepada sesuatu yang salah dalam perbuatan saya,
tidakkah seharusnya saya menerimanya sebagai sebuah nasihat untuk kebaikan? Dan
kalau memang itu tidak mengarah kepada apa yang saya perbuat, tidakkah
seharusnya itu saya abaikan saja? Tapi yang ada, saya selalu sakit hati
mendengarnya, bahkan terkadang saya meninggalkan ruang ibadah saat khotbah atau
langsung pulang setelah ibadah.
Bertahun-tahun saya merasakan pengalaman ini, bahkan di
gereja-gereja sebelumnya dimana saya pernah mencoba menjadi jemaat disana. Saya
hanya banyak diam saat berjumpa dengan orang-orang, bahkan saat mencoba berkomunikasi
mulut dan wajah saya terasa berat. Saat orang lain berbicara, hati saya
mengatakan “jangan-jangan mereka sedang membicarakan saya”, dan selanjutnya
saya juga sakit hati dengan mereka.
Suatu malam, antara sadar atau tidak, saya mendengar suatu pesan
ilahi: “Bodohlah yang menyatakan sakit hatinya
seketika itu juga, tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh” dan
akhirnya saya tahu itu adalah perkataan Salomo dalam Amsal 12:16. Hati saya
semakin sakit ketika pesan itu mengatakan saya BODOH
! Sepanjang malam saya tidak bisa tidur memikirkannya. Menjelang subuh,
akhirnya mata saya terpejam dan dalam tidur saya, saya merasakan ada satu
kedamaian yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Dan saat terbangun saya
langsung berdoa: Terima kasih Tuhan atas rasa damai yang Engkau berikan, mulai
hari ini saya tidak akan memiliki hati lagi untuk sakit hati. Semenjak saat itu
saya tidak lagi memiliki hati yang bisa disakiti.
Jika dulu dari 100 perkataan membuat saya sakit hati 200 kali,
maka hari ini dari 100 perkataan, satu pun belum tentu membuat hati saya
terganggu. Jika ada perkataan orang lain yang yang sepertinya mengarah ke saya,
maka saya anggap itu sebagai nasihat yang membangun atau mungkin saya abaikan
kalau merasa tidak ada sesuatu yang berhubungan dengan saya. Jika ada khotbah
yang agak keras maka saya langsung mengingat pesan Rasul Paulus: "Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran"
(2 Tim. 3:16). Sebab saya yakin bahwa pesan yang disampaikan oleh seorang hamba
Tuhan pasti tujuannya agar pendengarnya (jemaat) mengalami perubahan ke arah yang
lebih baik. Hanya saja karena iblis tidak senang orang berubah menjadi lebih
baik, maka ia langsung memolesnya sehingga sebagian dari mereka yang mendengarnya
merasa bahwa itu adalah sindiran atau penghakiman. Dan sayalah salah satu yang
selama ini berhasil di pengaruhi olehnya sehinga selalu sakit hati.
Demikianlah kesaksian saya, kiranya kita semua yang mendengar beroleh pengalaman baru, untuk tidak lagi memiliki hati yang bisa disakiti oleh segala situasi. Amin.
Orang yang selalu sakit hati seumpama seseorang yang meminum
racun, tetapi berharap orang lain yang akan mati.
Sakit hati adalah
racun yang mematikan, ia akan membunuh hal-hal baik yang ada dalam diri
manusia, sebelum ia bekerja sampai ke akar dan benar-benar mematikan, sadarlah
dan segeralah berubah dan rasakan hidup yang lebih baik dengan tidak lagi
memiliki hati.
Ada kalanya hati dan perasaan tidak digunakan, sebab jika segala sesuatu ukurannya adalah perasaan, maka kita akan selalu hidup penuh dengan tekanan.
ReplyDelete