TEOLOGI
AGAMA-AGAMA
Oleh: Pdt. Nelson Sembiring, M. Th.
PENDAHULUAN
Berbicara tetang agama merupakan
topik yang tak pernah habis untuk di bahas. Hal ini karena agama sangat
berperan penting dalam kehidupan umat manusia. Bayak pihak yang berusaha untuk
bekerja sama agar kedamaian bisa dirasakan diantara perbedaan yang ada. Namun
sering juga perbedaan-perbedaan yang ada menimbulkan ketidaknyamanan. Sejalan
hal ini Michael Keenne mengatakan bahwa: Pada zaman kita yang semakin sekuler
ini, agama memegang peranan penting terhadap kehidupan berjuta-juta manusia.
Penyelidikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70 persen penduduk dunia
menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama. Di seluruh Eropa Timur,
misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di sinagoga, mesjid, kuil, dan
gereja. Di banyak tempat di dunia, imam, rabi, dan pendeta bekerja bersama-sama
untuk menciptakan dunia yang semakin baik
dan damai. Sementara itu, perbedaan-perbedaan agama juga sering menjadi pusat
ketidak tenangan internasional dan ketidaktentraman penduduk – seperti yang
terjadi pada bekas Negara Yugoslavia, Timur Tengah, dan Irlandia Utara.
Agama mengambil bagian pada
momen-momen yang penting dalam kehidupan umat manusia. Agama merayakan
kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan
serta kehidupan keluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan saat ini menuju
kepada kehidupan yang akan datang. Bagi berjuta-juta manusia, agama berada
dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat-saat
yang paling menakutkan.
Lebih jauh Michael Keene mengatakan
bahwa: “Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang membingungkan kita. Adakan kekuatan tertinggi lain yang mampu memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita? Apa artinya semua ini? Mengapa orang
menderita? Apa yang terjadi terhadap diri kita apabila kita telah mati?”
Pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dalam
banyak hal, baik mengenai sesuatu yang tampak maupun yang gaib, dan juga
keterbatasan dalam memprediksi apa yang akan terjadi pada diri nya dan orang
lain, dan sebagainya. Oleh karena keterbatasan itulah maka manusia perlu
memerlukan agama untuk membantu dan memberikan pencerahan spiritual kepada diri
nya. Manusia membutuhkan agama tidak sekedar untuk kebaikan diri nya di hadapan
Tuhan saja, melainkan juga untuk membantu dirinya dalam menghadapi
bermacam-macam problema yang kadang-kadang tidak dapat dipahaminya. Di sinilah
manusia diisyaratkan oleh diri dan alam nya bahwa Zat yang lebih unggul dari
diri nya, Yang Maha Segala-galanya, seperti yang dijelaskan oleh para
antropolog bahwa agama merupakan respons terhadap kebutuhan untuk mengatasi
kegagalan yang timbul akibat ketidakmampuan manusia untuk memahami
kejadian-kejadian atau peristiwwa-peristiwa yang rupa-rupa nya tidak dapat
diketahui dengan tepat. Selain daripada itu agama juga memberi isyarat kepada
manusia dan alam bahwa ada Zat yang lebih unggul, Zat Yang Maha Segala-galanya,
yang disitu manusia perlu bersandar kepad Dia melalui medium agama. Dengan kata
lain perlu bersandar dan berpasrah (tawakal) kepada Dia melalui agama karena
agama menjadi tempat bagi kita untuk mengadu dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Kepasrahan kita kepada Tuhan didasarkan pada suatu ajaran bahwa manusia hanya
bisa berusaha, Tuhan yang menentukan.
Mengingat semuanya ini maka tidak
menjadi suatu hal yang mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi
kepada berjuta-juta orang di dunia untuk menjawab hal-hal di dalam kehidupan
yang akan terbentur jika hanya mengandalkan kemampuan akal manusia yang sangat
terbatas. Oleh karena banyaknya manusia
dengan cara pikir yang berbeda maka muncullah berbagai jenis agama dengan
ajaran-ajaran yang secara umum berbeda walaupu dalam beberapa hal memiliki
persamaan-persamaan.
Dari sekilas penjelasan di atas maka
dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian teologi agama-agama dan ruang
lingkupnya.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology
of Religions, dalam bahasa Latin Theologia
Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang
membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan
adanya pluralitas agama di
luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen
memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif
antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.
Dalam pembahasan
tentang agama sering sekali terjadi kesalingsilangan antara teologi
agama-agama, sosiologi agama, filsafat agama dan fenomenologi agama. Oleh
karena itu perlu dipahami antara keempat hal ini. Dalam bahan ajarnya Dr. Yonas
Muanley, S.Th., M.Div., M.Th. menjelaskan sebagai berikut:
a.
Studi sosiologi agama-agama
merupakan studi tentang hubungan-hubungan antara agama dan masyarakat serta
bentuk-bentuk hubungan yang terjadi. Hal-hal yang menjadi perhatian dari studi
sosiologi adalah bagaimana kepercayaan-kepercayaan agama tertentu memengaruhi
suatu masyarakat, atau bagaimana kepercayaan agama tertentu memengaruhi pola
hubungan dengan umat beragama lain. Dalam bidang sosiologi, yang menjadi obyek
penelitian adalah aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek Ilahi
(transendensi) diwujudkan di dalam perilaku manusia sehari-hari. Akan tetapi,
hal-hal yang transenden tidak terlalu diperhatikan atau dikesampingkan di dalam
studi ini. Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan aspek Ilahi
di dalam agama-agama. Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik
untuk mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam hal
ini antara umat Kristen terhadap umat beragama yang lain.
b.
Apa perbedaan Teologi Agama-Agama
dengan Filsafat Agama. Filsafat agama merupakan refleksi filosofis mengenai
agama dengan menggunakan metode filsafat secara sistematis dalam menganalisis
isi pokok suatu agama, seperti:konsep Tuhan, Yang Suci, keselamatan, ibadah,
kurban, doa, dan sebagainya. Filsafat agama berupaya mencari pembenaran
rasional dari gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian terhadapnya
sehingga bersifat normatif. Teologi agama-agama juga memberikan penilaian
seperti filsafat, tetapi di dalam terang iman Kristen yang berupaya menilai
agama-agama yang lain, bukan berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama
melainkan penyataan Allah berdasarkan Alkitab.
c.
Fenomenologi agama adalah bidang
studi yang berupaya melihat kepelbagaian agama secara fenomenologis.
Fenomenologis artinya bagaimana pemeluk agama-agama berbicara tentang apa yang
mereka yakini dan percayai sejauh dapat diamati (fenomena). Dalam fenomenologi,
penilaian oleh pengamat dihindari dan keunikan tiap agama berusaha dipertahankan.
Gejala-gejala yang diperbandingkan hanya untuk memperdalam pengertian dari
gejala-gejala religius yang dipelajari. Sedangkan di dalam teologi agama-agama,
penilaian terhadap agama lain dari perspektif kekristenan tidak dapat
dihindarkan. Namun perlu disadari bahwa, semangat yang mendasarinya bukan
semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat
beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks
kemajemukan agama.
Teologi agama pada dasarnya
merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan
refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk
memberi respon terhadap persoalan pluralisme. Teologi agama tak lain adalah
upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian
dan pusat persoalan. Teologi agama harus
mempunyai pijakan pada realitas. Teologi agama merupakan untuk mencari makna
teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama
adalah membuat dirinya relevan dengan keadaan, teologi agama merupakan respon
kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan
menjadi masa depan bersama. Dalam teologi agama kita diarahkan pada bagaimana
kita tetap menjaga identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa
menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain.
Perumusan teologi agama dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain
tersebut dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut absen atau bahkan
non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal.
Teologi agama harus benar-benar
berpijak pada kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan
percakapan yang produktif dan membuahkan hasil yang positif. Sebab pada
kenyataanya perbedaanajaran sering sekali menimbulkan gesekan karena menganggap
dirinyalah yang paling benar. Seperti dikatakan Hendropuspito bahwa perbedaan
iman (dan doktrin) de fakto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita persoalkan,
tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil
hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan
itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran
agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas
agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif)
nilai tetringgi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri
selalu dijadikan kelompok patokan (reference group), sedangkan lawan dinilai
menurut patokan itu.
Setiap agama akan berapologetika
untuk mempertahankan dan membela kebenaran agamanya terhadap serangan dari
dalam dan luar agama tersebut. Apologetika yang sering digunakan adalah
apologetika konfrontatif yaitu dengan menyerang hal yang dianggap menjadi titik
lemah atau kekurangan agama lain. Dari sekian banyak polemic yang pernah
terjadi dari masa ke masa dapat disimpulkan bahwa apologetika konfrontatif yang bertujuan mencari menang sendiri dengan
mengalahkan pihak lain belum pernah menghasilkan buah yang positif dalam
perjalanan umat manusia. Karena dalam
hal kepercayaan orang tidak mau dikalahkan dengan argumentasi rasional melulu.
Karena unsur-unsur nonrasional atau supra-rasional ikut memegang peranan
penting dalam suatu agama.
Dari penjelasan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa teologi agama-agama adalah suatu cabang ilmu teologi
yang mengajarkan tentang sikap kekristenan dalam menganggapi keberagaman
(pluralism) agama-agama yang ada di luar Kristen namun bukan dengan sikap yang
konfrontatif tetapi sebaliknya dengan berusaha mengkonstruksi secara teologis
sehingga tetap terjalin hubungan baik namun tetap pada identitas masing-masing.
B. RUANG
LINGKUP TELOGI AGAMA-AGAMA
Secara
umum, ada tiga model pandangan teologi agama-agama yaitu:
1.
Eksklusivisme
Pandangan
eksklusivisme memiliki pandangan eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme
menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan,
sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang
digunakan umumnya adalah kitab Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik,
Paus Bonifasius VIII merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia
nulla salus” yang berarti “ di luar gereja tidak ada keselamatan”.
Teolog yang mewakili
pandangan eksklusif adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Barth berpendapat
bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan upaya manusia yang
sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah sendiri yang
memperkenalkan DiriNya. Allah sudah memperkenalkan diriNya di dalam dan melalui
Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan
agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan
antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di
dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama
Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang
dipegangnya.
Hal senada, namun beda
argumen disampaikan Kraemer, yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus
Kristus merupakan kriteria satu-satunya yang dengannya semua agama-agama,
termasuk agama Kristen, dapat dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan
sebagai satu-satunya kriteria dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan
umum diakui keberadaannya, teologi naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri.
Penyataan umum itu harus terkait dalam penyataan diri Yesus. Titik tolak
Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan alkitabiah) yang mengandung dua
hal: realitas alkitabiah menunjuk pada kesaksian mendasar Alkitab tentang
kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia yang diperhubungkan dengan
inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan mengenai agama-agama lain sebagai sistem
yang meliputi segalanya, yang masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman
tersendiri akan totalitas eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama
tidak ada kesinambungan.
2.
Inklusivisme
Pandangan inklusivisme
yang berkembang sejak Konsili Vatikan II. Pandangan ini mengandung dialektika
penerimaan dan penolakan agama-agama lain. Pada satu sisi, inklusivisme
menerima adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, sehingga dapat
disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak
sebagai yang tidak mencukupi bagi keselamatan, karena hanya dalam Krsitus saja
ada keselamatan. Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis
10:34-35, Yoh 1:1-4.
Teologi agama-agama
berpandangan inklusivisme ini dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi
Konsili Vatikan II, Karl Rahner dan Hans Kung.
Yustinus Martir, bapa
gereja abad kedua, terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos” (benih-benih
logos/firman). Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat bahwa di dalam dunia
ada logos spermatikos yang merupakan bagian dari kehadiran Allah memelihara
ciptaanNya yang telah dirusakkan oleh dosa. Sejajar dengan filsafat Stoa, iayakin
bahwa semua orang berpartisipasi dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi
yang abadi, yang menjadi prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi
kenyataan dasar alam semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos
ilahi yang abadi. Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus
dalam dunia yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama.
Pandangan inklusivisme
lainnya, kita peroleh dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam dokumen Nostra
Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi tentang sikap gereja (Katolik) terhadap
agama-agama bukan Kristen. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam
agama-agama lain, ada usaha menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai
cara sambil menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan
ibadat suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci
dalam agama-agama, danmemandang dengan penghargaan yang jujur bahwa tidak
jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua masnusia. Terhadap
Hindu, Konsili Vatikan II memahami bahwa di dalam Hinduisme, manusia meneliti
misteri ilahi lalu mengungkapkannya dengan perbendaharaan mitos yang luar biasa
kaya dan dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan mencari pembebasan
melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula dengan berpaling kepada
Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme, ada diajarkan
jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap pembebasan sempurna atau
atau dapat menggapai pencerahan tertinggi dengan usaha-usaha sendiri atau
dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam, yang menyembah Allah yang Maha Esa,
Yang hidup dan ada, Yang Maha Pengasih dan Maha Kuasa, Pencipta, yang berbicara
kepada manusia. Terhadap Yahudi, gereja Katolik mendorong persaudaraan dengan
umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap anti Yahudi oleh fasisme Hitler
masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta orang Yahudi.
Penganjur
Inklusivisme, Karl Rahner, menggabungkan suatu teologi yang bersifat
kristosentris dengan pengalaman keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan
kriteria dari anugerah dan penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen
disebutnya sebagai orang Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam empat
tesis: agama Kristen ditujukan untuk semua orang, sehingga agama lain tak
diakui; agama nonkristen menjadi saluran anugerah Allah dalam Kristus, sebelum
Injil memasuki sejarah individunya; agama Kristen menghadapi agama lain sebagai
Kristen anonim; orang Kristen sebagai barisan terdepan yang nyata dari harapan
Kristen yang hadir sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh
inklusif lainnya, Hans Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang
memandang agama dari luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan akan
kebenaran dalam agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam agama
sendiri.
3.
Pluralisme
Pandangan Pluralisme
yang tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran
yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian
kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser
Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1. Kor 15:28,
sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama. Penganjur
pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran
kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold
Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh
pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu
agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh
agama; John Hick menganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat
agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah
pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith menekankan
penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan teologis), karena
Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang
menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas bersama-sama
menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley Ariarajah menggeser
tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam
penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif
mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami dari
sudut bahasa iman, bahasa cinta.
Dari ketiga pandangan ini kita
melihat ada pergeseran nilai-nilai kebenaran. Dimulai dari eksklusivisme yang
menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan,
sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Selanjutnya
inklusivisme mulai memberi ruang bahwa adanya manifestasi rohani di dalam
agama-agama lain, sehingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi
namun untuk perkara keselamatan tetap hanya ada di dalam Kristus. Sementara
pluralisme mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun
berbeda-beda.
Setiap agama memiliki konsep yang
berbeda-beda tentang Tuhan (Theos). Berikut beberapa agama dan pandangannya:
1.
Hindu
Agama Hindu mulai
dengan politeisme dan berakhir dengan panteisme. Semula di dalam Weda Samhita
diakui adanya dewa yang bermacam-macam. Kata “dewa” semula memang berarti
terang. Dewa adalah tokoh yang sifatnya terang serta membawa terang. Semula
para dewa dianggap dekat sekali dengan kehidupan manusia, tetapi sekarang
mereka tak diperlukan lagi. Akan tetapi karena kehiduupan keagamaan tak mungkin
tanpa ber-Tuhan maka pada zaman ini timbullah dewa-dewa yang baru yang
dipandang sebagai penyebab pertama alam semesta ini.
Michael Keene
mengatakan bahwa Hinduisme adalah agama monoteisme yang pengikut-pengikutnya
percaya pada satu Allah, yaitu Brahman (Roh yang mutlak), yang tak dapat
dijangkau dan dimengerti oleh manusia. Ada berjuta-juta gambar yang membuat
Brahman bias dilihat dan dikenal oleh para pemujanya.
2.
Budha
Di dalam agama Budha
tidak ada gambaran yang jelas tentang Tuhan. Harun Hadiwijono mengatakan:
“memang, harus diakui, bahwa sebutan Tuhan atau Tokoh yang dipertuhankan tidak
ada. Yang ada adalah Nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang
memadamkan. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Dilihat
dari keyakinan Kristen dapat dikatakan, bahwa Budha Gautama meraba-raba dan
mencari kepada “Yang tidak jauh dari padanya”. Berdasarkan kenyataan, bahwa di
dalam ajaran Budha manusia rindu akan kelepasannya serta mencari-cari “Yang tak
dilihatnya”. Dapat dikatakan bahwa Buddhisme adalah suatu agama, dengan manusia
berusaha mencari Tuhannya.
3.
Yudaisme
Yudaisme adalah agama
yang percaya kepada Allah yang Esa. Sejarah Yahudi dimulai sekitar 4000 tahun
yang lalu sehingga Yudaisme menjadi agama monoteisme tertua, kecuali jika orang
memperhitungkan Hinduisme. Antara agama Yudaisme dan Kristen memiliki akar
sejarah yang sama, bahwa mereka menyembah Allah Abraham, Isak dan Yakub. Namun,
bagi orang Yahudi yang beragama Yuidaisme bahwa apa yang di nubuatkan dalam
Perjanjian Lama belum tergenapi sedangkan bagi orang Kristen telah tergenapi
melalui Yesus Kristus. Jadi secara pandangan Kristen bias dikatakan bahwa kaum
Yudaisme adalah umat yang sedang menanti-nanti penggenapan nubuatan dalam kita
suci mereka yaitu TeNaKh.
4.
Kristen
Umat Kristen percaya
bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah dan Putra Manusia – sungguh-sungguh
Allah dan sungguh-sungguh manusia dan tanpa dosa. Bahwa dalam keberadaanya
sebagai “Firman”, Yesus telah ada sebelum segala sesuatu dijadikan tetapi dalam
keberadaanya sebagai manusia ia da setelah dilahirkan oleh ibunya Maria. Umat
Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Firman Allah yang telah menjadi manusia
(Yoh. 1:14) dan Dialah yang menyelamatkan umatNya dari dosa-dosanya lewat
kematian, kebangkitan dan kenaikanNya ke Sorga dan akan dating kembali menjemput
orang-orang percaya.
5.
Islam
Islam adalah suatu
kata Arab yang artinya “menyerah” dan seorang Muslim adalah “seorang yang
menyerahkan dirinya kepada Allah”. Dipercayai bahwa dari waktu ke waktu Allah
mengutus para nabi seperti Abraham, Musa dan Yesus (Isa) untuk memperlihatkan
kepada umatNya bagaimana mereka harus hidup, tetapi pesan mereka sangat
diabaikan. Akhirnya, Allah mengutus Muhammad, jajaran nabi yang terakhir dan
terbesar dan mewahyukan kehendakNya kepadanya ke dalam sejumlah wahyu yang dicatat
tanpa kesalahan, di dalam Al Qur’an. Secara pemahaman antara Islam dan Kristen
banyak memiliki persamaan secara khusus tentang ajaran dalam Perjanjian Lama
mulai dari penciptaan samapi perjalanan nabi-nabi. Jika diabil suatu
perbandingan maka dalam ajaran Islam, Firman Allah yang ada bersama-sama dengan
Allah turun (Nuzul) menjadi kitab suci Al Qur’an melalui Muhammad (buta huruf)
yang bermeditasi di Gua Hira. Sedangkan dalam Kristen Firman Allah yang ada
bersama-sama dengan Allah turun (Natal) menjadi manusia melalui Maria
(perawan), dan sebagai manusia kepadaNya diberikan segala kuasa baik dilangit
dan di bumi.
6.
Sikhisme
Sikhisme didirikan
oleh Guru Nanak, yang menghormati agama Hindu dan Islam tetapi percaya bahwa
kedua agama itu mengaburkan kebenaran tentang Allah. Sikhisme menekankan
hubungan pribadi dengan Allah. Menurut Guru Nanak ada satu Allah yang berada
baik di dunia maupun di atas dunia; ada putaran yang terjadi terus-menerus
mengenai kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang harus
dijalani manusia; tujuan akhir setiap njiwa manusia ialah ditariknya kembali
kepada Allah yang dariNya manusia berasal; orang yang ingin kembali kepada
Allah harus hidup teratur dengan menjalankan prinsip-prinsip moral tertentu.
7.
Konfusianisme
Konfusianisme
mengajarkan bahwa surge dan bumi akan menjadi harmonis jika setiap orang
mematuhi mereka yang berada di atas dan membagi dengan pantas kepada mereka
yang berada di bawah. Konfusianisme mengajarkan bahwa semua kesadaran berakhir
dengan kematian. Maka itu, sudah menjadi tugas manusialah untuk menghormati
para leluhur mereka dan ada tempat pemujaan khusus untuk keperluan ini di dalam
rumah atau di dalam kuil dimana persembahan di sajikan. Secara pandangan
Kristen ajaran ini merupakan ajaran animisme yang berhubungan dengan
leluhur-leluhur yang dihormati setelah kematiannya karena dipercaya masih
memiliki andil dalam hidup manusia.
8.
Taoisme
Para penganut Taoisme
mengikuti suatu jalan spiritual, atau Tao, yang dibentuk oleh para ahli piker
Cina zaman dulu. Tao sebetulnya bukan sekedar jalan, melainkan juga sebagai
sumber dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tao dapat diceritakan
bukanlah Tao yang kekal. Nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang kekal.
Yang tak punya nama adalah asal mula surge dan bumi… pintu gerbang segala
misteri.
9.
Zoroastrianisme
Zoroastrianisme adalah
agama Persia kuno yang mengajarkan bahwa segala yang ada terlibat dalam
perebutan yang tak henti-hentinya antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan.
Sesungguhnya ada dua roh utama, kembar, yang diketahui selalu bertentangan.
Dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, mereka ada dua yang baik dan yang
jahat.
10. Shintoisme
Shintoisme berasal
dari Jepang dan berarti “jalan para dewa”. Nama ini ditetapkan pada abad keenam
untuk membedakannya dari Buddhisme dan Konfusianisme, yang saat itu merupakan
agama-agama pendatang. Ibadat kami –
para dewa atau roh yang tak terhitung jumlahnya – merupakan pusat Shintoisme
dan dilaksanakan baik di rumah maupun ditempat penujaanumum.
11. Kepercayaan Baha’i
Kepercayaab Baha’I muncul dari
agama Islam dan termasuk salah satu dari agama paling baru di dunia.
Kepercayaan ini memberikan suatu pandangan bahwa dunia mengenai perdamaian dan
cinta kasih di masyarakat yang diperintahkan oleh dasar-dasar agama di seluruh
dunia. Sayyid Ali Muhammad (1819-1850) penganut Islam Shi’it, memaklumkan
dirinya sebagai orang pertama dari jajaran para nabi baru setelah Muhammad.
Orang baha’I percaya bahwa Allah, yang transenden dan tak dapat diketahui oleh
pikiran manusia, telah mengutus banyak nabi untuk memberikan pencerahan kepada
manusia.
Dari sekian banyak agama
(kepercayaan) semuanya memiliki konsep yang berbeda tennang yang ia percayai
dan sembah. Semua meyakini bahwa ada suatu kuasa di luar manusia yang berkuasa
atas alam semesta, namun semua memiliki penyataan yang berbeda-beda terhadap
manusia itu sendiri.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas maka
dapat diambil beberapa klesimpulan berkaitan dengan Teologi Agama-Agama dan
Ruang Lingkupnya sebagai berikut:
1.
Agama
adalah suatu aspek yang sangat peting dalam kehidupan manusia, bagi
berjuta-juta manusia, agama berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang
paling khusus maupun pada saat-saat yang paling menakutkan.
2.
Teologi
agama-agama adalah suatu cabang ilmu teologi yang mengajarkan tentang sikap
kekristenan dalam menganggapi keberagaman (pluralism) agama-agama yang ada di
luar Kristen namun bukan dengan sikap yang konfrontatif tetapi sebaliknya
dengan berusaha mengkonstruksi secara teologis sehingga tetap terjalin hubungan
baik namun tetap pada identitas masing-masing.
3.
Tiga
model pandangan teologi agama-agama mengalami pergeseran nilai-nilai kebenaran.
Dimulai dari eksklusivisme yang menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen
ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak
ada keselamatan. Selanjutnya inklusivisme mulai memberi ruang bahwa adanya
manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, sehingga dapat disebut suatu
tempat bagi kehadiran ilahi namun untuk perkara keselamatan tetap hanya ada di
dalam Kristus. Sementara pluralisme mengakui adanya kebenaran yang sama dalam
agama-agama, meskipun berbeda-beda.
4.
Setiap
agama (kepercayaan) semuanya memiliki konsep yang berbeda tentang yang ia percayai
dan sembah. Semua meyakini bahwa ada suatu kuasa di luar manusia yang berkuasa
atas alam semesta, namun semua memiliki penyataan yang berbeda-beda terhadap
manusia itu sendiri.