AGAMA DAN
PLURALISME
Oleh: Pdt.
Nelson Sembiring, M. Th.
PENDAHULUAN
Semua agama yang ada di Indonesia
harus mengakui suatu realita adanya suatu fenomena kemajemukan (puralitas)
agama dan dampaknya terhadap kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat. Masing-masing
dari agama memiliki konsep tentang apa yang ia yakini dan sering mengukur
kepercayaan agama lain dengan agamanya sehingga seing terjadi gesekan antar
umat beragama. Seperti dikatakan Hendropuspito bahwa perbedaan iman (dan
doktrin) de fakto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita persoalkan, tetapi
kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil
hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan
itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran
agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas
agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif)
nilai tetringgi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri
selalu dijadikan kelompok patokan (reference group), sedangkan lawan dinilai
menurut patokan itu.
Hal senada dikatakan oleh Stevri I.
Lumintang bahwa masing-masing agama dan pemeluknya memiliki klaimnya mengenai
kefinalitasan atau keunikan Tuhan yang
mereka imani dan layani. Hal ini tentu sangat berpotensi untuk melahirkan
fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipasti terhadap orang yang memeluk
agama lain. Fakta ini sangat mudah digerakkkan untuk menghasilkan perang
saudara atau perang agam, dan akan sangat mudah untuk dimanfaatkan guna
maksud-maksud politis seperti yang hangat dibicarakan pada era post reformasi.
Kenyataan ini adalah sangat member peluang kepada disintegrasi bangsa.
Untuk menghindari dan mengantispasi
pertikaian antarumat beragama maka para tokoh agama terus mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk melakukan dialog-dialog. Di kalangan Kristen sendiri,
metode dialog merupakan kekuatan yang sangat diandalkan oleh sekelompok
pemimpin, pemikir Kristen yang banyak bergabung dalam wadah organisasi antar
gereja yang sering menyebut diri dengan bangga sebagai “arus utama” yakni
sebagai tokoh-tokoh PGI dan atau DGD dalam interaksinya dengan sesama agama
lain.
Dalam dialog-dialog yang dilakukan
para pemuka agama, sadar atau tidak mereka sering sekali nilai kebenaran yang
sejatinya bersifat absolute menjadi relative hanya karena tuntutan menjaga
nilai-nilai kerukunan satu dengan yang lain. Stevri I. Lumintang mengatakan
bahwa metode dialog telah merubah arti dan hakikat masing-masing agama,
termasuk hakikat agama Kristen. Karena metode dialog ini telah melangkah lebih
jauh dari metode dialog sebelumnya. Di mana, sebelumnyadialog hanya dilihat
sebagai wadah persekutuan antar umat beragama; namun dalam perkembangan
selanjutnya, dialog menjadi usaha masing-masing antar agama untuk mempelajari
sampai pada taraf menerima keabsahan, kebenaran semua agama.
Padahal menurut seorang tokoh
Kristen yang berlatar belakang Islam yaitu Bambang Noorsena bahwa dalam suatu
dialog bukan cerita menang kalah (debat), bukan juga kita menjadi sama dengan
orang lain, bukan untuk mencari-cari persamaan agar bisa duduk bersama. Sebab
menurut beliau kebersamaan tidak harus sama. Berdialog bertujuan agar antar
umat beragama tidak ada kecurigaan yang berlebihan, berdialog berarti menjawab
hal-hal yang mungkin disalah pahami orang lain tentang agama yang kita anut.
Jadi, pluralisme yang
digadang-gadang oleh banyak tokoh merupakan suatu tantangan sekaligus bahaya
yang sangat serius bagi kekristenan. Karena pluralism bukanlah sekedar suatu
konsep sosiologis, anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak
bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh
tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan social-politik yang didukung oleh
kemajemukan etnis, budaya dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi
dan filsafat relativisme yang menggiringgnya.
PEMBAHASAN
A. AGAMA
Pengertian Agama menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Pengertian Agama
dalam beberapa bahasa “kata agama” dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari
bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la
religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa
Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang
kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang,
balasan, kebiasaan.
Oxford Student dictionary (dalam
Azra, 2000) mendefenisikan bahwa agama adalah suatu kepercayaan akan keberadaan
suatu kekuatan pengatur supranatural yang menciptakan dan mengendalikan alam
semesta. Beberapa ahli membuat pengertian agama sebagai berikut:
a.
Pengertian
Agama menurut Nasution (1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan
yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari
salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manus ia sebagai kekuatan gaib
yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang
besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
b.
Pengertian
Agama menurut Michel Meyer (dalam Rousydiy, 1986) berpendapat bahwa agama
ádalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita
dalam tingkah laku kita terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia dan
terhadap diri kita sendiri.
c.
Pengertian
Agama menurut Antropolog Edward Burnett Tylor (1832-1917) mendefinisikan agama
sebagai kepercayaan makhluk gaib dan menyatakan bahwa keyakinan ini berasal
sebagai penjelasan kepada dunia. Kepercayaan pada makhluk gaib tumbuh dari
upaya untuk menjelaskan kehidupan dan kematian. Orang-orang primitif yang
menggunakan mimpi manusia di mana roh-roh tampaknya muncul sebagai indikasi
bahwa pikiran manusia bisa ada independen dari tubuh.
d.
Menurut
Émile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan
menyatukan semua penganutnya dalamsuatu komunitas moral yang di namakan umat.
e.
Menurut
Prof. Dr. M. Drikarya definisi Agama adalah kenyakinan adanya suatu kekuatan
supranatural yang mengatur dan menciptakan alam dan isinya.
f.
Menurut
H. Moenawar Chalil definisi Agama adalah perlibatan yang merupakan tingkah laku
manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai
konsekuensi atas pengakuannya.Menurut Hendro Puspito definisi Agama adalah
sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dan alam semesta yang berkaitan
dengan keyakinan.
g.
Menurut
Jappy Pellokild definisi Agama adalah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
hukum-hukumnya.
Secara etimologi, ada dua
pandangan; A = tidak, GAMA = kacau. Agama tidak kacau. Agama dijalankan manusia
dengan harapan bahwa dengan agama itu manusia akan hidup dalam tenteraman lahir
maupun batin. Pandangan kedua agama terdiri dari tiga suku kata A = tidak, GAM
tidak pergi, A = abadi (sifatnya internality) Agama artinya abadi, kekal, tidak
hilang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
agama adalah suatu pengakuan manusia bahwa ia meyakini bahwa diluar dirinya ada
sesuatu yang berdaulat untuk mengatur segala aspek kehidupan sehingga semua
dapat berjalan dengan teratur tanpa kekacauan.
B. PLURALISME
Pandangan Pluralisme yang
tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran yang
sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian
kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser
Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1. Kor 15:28,
sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama. Penganjur
pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran
kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold
Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh
pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu
agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh
agama; John Hick menganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat
agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah
pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith menekankan
penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan teologis), karena
Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang
menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas bersama-sama
menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley Ariarajah menggeser
tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam
penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif
mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami dari
sudut bahasa iman, bahasa cinta.
Dalam konteks kemajemukan agama,
maka pluralism, secara historis sudah ada sejak adanya fakta pluralitas agama
dalam masyarakat. Dari perspektif
kekristenan, sejak generasi kedua dari manusia pertama, sudah ada
kemajemukan agama yang diwakili oleh Kain dan Habel, dan sesudah itu, zaman
para pendahulu Israel (para Patriakh), seperti Abraham dan Israel fakta
kemajemukan agama sudah tidak asing lagi sebagai pengalaman sesehari seperti
pengalaman orang Kristen di Indonesia
yang lahir dan langsung berhadapan dengan fakta kemajemukan agama.
Dengan kata lain, sejak dunia ini memiliki dua atau lebih agama, maka sejak
itulah masyarakat sudah mulai mengembangkan pluralism, apakah dalam bentuk
teori atau praktik. Jadi pluralitas agama khususnya yang diikuti dengan
pluralisme, tidaklah lahir pada zaman modern ini. Pada masa kini, memang sangat
terasa pengaruhnya karena adanya kebangkita agama-agama. Kebangkitan agama-agama
ini, disertai juga dengan kebangkitan fundamentalisme atau militanisme yang
sangat berpotensi untuk menciptakan perang agama dan yang kemudian bisa
menyebabkan perang dunia.
Menurut Stevri I. Lumintang ada enam
factor yang menyebabkan bangkitnya semangat pluralism dalam teologi Kristen
yaitu:
1.
Adanya
fenomena pluralitas agama dan kebudayaan yang masing-masing mengakui kemutlakan
agama dan budayanya masing-masing.
2.
Merasuknya
filsafat relativisme diantara para pemikir dari masing-masing agama.
3.
Pengaruh
teolog dan teologi sekularisasi Barat.
4.
Semangat
globalisasi.
5.
Sekolah
Tinggi Teologi dan Literatur kaum Pluralis.
6.
Konsili
Vatikan II dan Sidang Raya DGD di Uppsala.
Dengan semangat inilah para tokoh
agama khususnya di Indonesia berusaha merajut persatua dan kesatuan yang terancam
karena konflik antar gama khususnya Islam dengan Kristen. Sebab Indonesia
adalah salah satu Negara Asia yang majemuk dalam keagamaan dan sangat rawan
terciptanya konflik. Stevri I. Lumintang mengemukakan bahwa konflik agama
terjadi di Indonesia, khususnya konflik antara agama Kristen dan Islam. Konflik
antara Kristen dan Islam, sebenarnya berbicara mengenai suatu proses sejarah
yang panjang. Konflik Islam dan Kristen
di Indonesia, tentu sudah dimulai dengan perjumpaan kedua agama ini berkaitan
dengan tibanya Islam pada abad ke-13 oleh golongan Sufisme yang mistis, para
pedagang India, dan tibanya Kristen pada abad ke-16, hanya konfliknya masih
dalam batas-batas adaptasi. Konflik ini semakin tampak, karena hadirnya
kekristenan di Indonesia adalah bersamaan dengan hadirnya kekuasaan Negara
penjajah, baik Portugis maupun Belanda. Agama Kristen diidentikkan dengan para
penjajah, yang tentu dilihat dengan “sinis” dan yang kemudian dijuluki sebagai
“kaki tangan kaum penjajah”, dan “wong londo”.
Reaksi kelompok Islam, khususnya kelompok Islam santri sebagai Jihad semakin
kentara dengan bangkitnya pemberontakan DI atau TII di Jawa Barat, Aceh dan
Sulawesi Selatan, sebagai reaksi atas gagalnya Piagam Jakarta sebagai wujud
gagasan Negara Islam. Dengan gagal berdirinya Negara Islam pada perumusan dasar
Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila, bukan berarti berhenti sudah
perjuangan Islam. Justru sejak saat itu, kelompok Islam fundamentalis ini selai
semakin menampakkan tekanan kepada pemerintah untuk mewujudkan Negara Islam
secara terang-terangan, maupun secara tersembunyi dengan mulai “mengislamkan”
semua departemen pemerintahan dengan menempatkan orang-orang beragama Islam
sebagai pemimpin, juga tekanan-tekanan mental dan fisik seperti pembatasan
rumah-rumah ibadah, munculnya Surat Keputusan
menteri Agama nomor 7 tahun 1978 tentang pelaksanaan penyiaran Agama.
Lebih
lanjut Lumintang mengatakan bahwa latara belakang konflik agama di Indonesia
antara lain karena:
1.
Ketakutan
kelompok Islam atas pengaruh kekristenan di Indonesia.
2. Semangat solidaritas
yang sangat tinggi di kalangan Islam.
3. Klaim mayoritas umat
Islam di Indonesia.
4. Konsep perang suci dan
fanatisme agama.
5. Latar belakang politik
yang menyakitkan dan klaim jasa kemerdekaan.
6.
Gerakan
penginjilan kelompok Kristen tertentu.
Oleh karena itu, untuk mengatasi
situasi yang tidak mudah ini pemerintah menetapkan Pancasila sebagai sumber
dasar undang-undang dengan mana
kehidupan kenegaraan bangsa diatur dan diselenggarakan. Sebagai salaha satu
agama yang ada di Indonesia maka umat Kristen berperan serta untuyk menjaga
toleransi antar umat beragama. Salah satu toleransi antar umat beragama dalam
perspektif Kristen adalah toleransi dan dialog yang teologis. Toleransi dapat
terwujud melalui kesediaan berdialog, yaitu dialog kehidupan. Memang banyak
kebenaran, dari antara orang Kristen sendiri, yang melihat dialog sangat rawan
menciptakan sinkretisme. Namun jika dialog dipahami seperti Verkuyl memahami
bahwa:
1.
Ada
dialog dengan sasaran untuk membangun saling pengertian yang lebih baik.
2.
Beberapa
sasaran dialog yang menghasilkan kerjasama berurusan dengan persoalan-persoalan
yang paling mendesak, menghadapi masyarakat secara regional dan secara
universal.
3.
Dialog
dilihat sebagai alat pengkomunikasian misi.
dalam
hal ini dialog masih dipandang positif sesuai dengan iman Kristen.
Bertolak dari apa yang
dikemukakan di atas bahwa dalam kemajemukan nilai-nilai dan semangat pluralis memiliki peran positif dalam menjaga
kemajemukan di Negara Indonesia, namun sesungguhnya ajaran kaum puralis adalah
penuh dengan penipuan, dan sangat berbahaya karena pada hakikatnya mereka
menolak azas-azas utama dan mendasar dari kekristenan antara lain: menolak
Alkitab sebagai wahyu Allah, menolak keunikan dan finalitas Yesus, menolak
gereja sebagai agen atau alat misi Allah dalam dunia, menolak misi proklamasi
Injil dan misi penebusan, menolak semua eksistensi agama-agama yang ada di
dunia.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas maka
dapat diambil beberapa klesimpulan berkaitan dengan Agama dan Pluralisme sebagai berikut:
1.
Semua
agama yang ada di Indonesia harus mengakui suatu realita adanya suatu fenomena
kemajemukan (puralitas) agama dan dampaknya terhadap kehidupan bersama di
tengah-tengah masyarakat.
2.
Masing-masing
agama dan pemeluknya memiliki klaimnya mengenai kefinalitasan atau keunikan Tuhan yang mereka imani dan
layani. Hal ini tentu sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap
agama sendiri, dan antipasti terhadap orang yang memeluk agama lain.
3.
Agama
adalah suatu pengakuan manusia bahwa ia meyakini bahwa diluar dirinya ada
sesuatu yang berdaulat untuk mengatur segala aspek kehidupan sehingga semua
dapat berjalan dengan teratur tanpa kekacauan.
4.
Pandangan
ini mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun
berbeda-beda.
5. Sesungguhnya ajaran kaum puralis adalah penuh dengan penipuan, dan sangat berbahaya karena pada hakikatnya mereka menolak azas-azads utama dan mendasar dari kekristenan antara lain: menolak Alkitab sebagai wahyu Allah, menolak keunikan dan finalitas Yesus, menolak gereja sebagai agen atau alat misi Allah dalam dunia, menolak misi proklamasi Injil dan misi penebusan, menolak semua eksistensi agama-agama yang ada di dunia.
No comments:
Post a Comment