Saturday, November 7, 2020

TEOLOGI AGAMA-AGAMA

 

TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Oleh:   Pdt. Nelson Sembiring, M. Th.

PENDAHULUAN

            Berbicara tetang agama merupakan topik yang tak pernah habis untuk di bahas. Hal ini karena agama sangat berperan penting dalam kehidupan umat manusia. Bayak pihak yang berusaha untuk bekerja sama agar kedamaian bisa dirasakan diantara perbedaan yang ada. Namun sering juga perbedaan-perbedaan yang ada menimbulkan ketidaknyamanan. Sejalan hal ini Michael Keenne mengatakan bahwa: Pada zaman kita yang semakin sekuler ini, agama memegang peranan penting terhadap kehidupan berjuta-juta manusia. Penyelidikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70 persen penduduk dunia menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama. Di seluruh Eropa Timur, misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di sinagoga, mesjid, kuil, dan gereja. Di banyak tempat di dunia, imam, rabi, dan pendeta bekerja bersama-sama untuk menciptakan  dunia yang semakin baik dan damai. Sementara itu, perbedaan-perbedaan agama juga sering menjadi pusat ketidak tenangan internasional dan ketidaktentraman penduduk – seperti yang terjadi pada bekas Negara Yugoslavia, Timur Tengah, dan Irlandia Utara.

            Agama mengambil bagian pada momen-momen yang penting dalam kehidupan umat manusia. Agama merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta kehidupan keluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan saat ini menuju kepada kehidupan yang akan datang. Bagi berjuta-juta manusia, agama berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat-saat yang paling menakutkan.

            Lebih jauh Michael Keene mengatakan bahwa: “Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan kita. Adakan kekuatan tertinggi lain yang mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita? Apa artinya semua ini? Mengapa orang menderita? Apa yang terjadi terhadap diri kita apabila kita telah mati?”

Pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dalam banyak hal, baik mengenai sesuatu yang tampak maupun yang gaib, dan juga keterbatasan dalam memprediksi apa yang akan terjadi pada diri nya dan orang lain, dan sebagainya. Oleh karena keterbatasan itulah maka manusia perlu memerlukan agama untuk membantu dan memberikan pencerahan spiritual kepada diri nya. Manusia membutuhkan agama tidak sekedar untuk kebaikan diri nya di hadapan Tuhan saja, melainkan juga untuk membantu dirinya dalam menghadapi bermacam-macam problema yang kadang-kadang tidak dapat dipahaminya. Di sinilah manusia diisyaratkan oleh diri dan alam nya bahwa Zat yang lebih unggul dari diri nya, Yang Maha Segala-galanya, seperti yang dijelaskan oleh para antropolog bahwa agama merupakan respons terhadap kebutuhan untuk mengatasi kegagalan yang timbul akibat ketidakmampuan manusia untuk memahami kejadian-kejadian atau peristiwwa-peristiwa yang rupa-rupa nya tidak dapat diketahui dengan tepat. Selain daripada itu agama juga memberi isyarat kepada manusia dan alam bahwa ada Zat yang lebih unggul, Zat Yang Maha Segala-galanya, yang disitu manusia perlu bersandar kepad Dia melalui medium agama. Dengan kata lain perlu bersandar dan berpasrah (tawakal) kepada Dia melalui agama karena agama menjadi tempat bagi kita untuk mengadu dan berkomunikasi dengan Tuhan. Kepasrahan kita kepada Tuhan didasarkan pada suatu ajaran bahwa manusia hanya bisa berusaha, Tuhan yang menentukan.

            Mengingat semuanya ini maka tidak menjadi suatu hal yang mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi kepada berjuta-juta orang di dunia untuk menjawab hal-hal di dalam kehidupan yang akan terbentur jika hanya mengandalkan kemampuan akal manusia yang sangat terbatas.  Oleh karena banyaknya manusia dengan cara pikir yang berbeda maka muncullah berbagai jenis agama dengan ajaran-ajaran yang secara umum berbeda walaupu dalam beberapa hal memiliki persamaan-persamaan.

            Dari sekilas penjelasan di atas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian teologi agama-agama dan ruang lingkupnya.

 

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.

Dalam pembahasan tentang agama sering sekali terjadi kesalingsilangan antara teologi agama-agama, sosiologi agama, filsafat agama dan fenomenologi agama. Oleh karena itu perlu dipahami antara keempat hal ini. Dalam bahan ajarnya Dr. Yonas Muanley, S.Th., M.Div., M.Th. menjelaskan sebagai berikut:

a.       Studi sosiologi agama-agama merupakan studi tentang hubungan-hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi. Hal-hal yang menjadi perhatian dari studi sosiologi adalah bagaimana kepercayaan-kepercayaan agama tertentu memengaruhi suatu masyarakat, atau bagaimana kepercayaan agama tertentu memengaruhi pola hubungan dengan umat beragama lain. Dalam bidang sosiologi, yang menjadi obyek penelitian adalah aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek Ilahi (transendensi) diwujudkan di dalam perilaku manusia sehari-hari. Akan tetapi, hal-hal yang transenden tidak terlalu diperhatikan atau dikesampingkan di dalam studi ini. Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan aspek Ilahi di dalam agama-agama. Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik untuk mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam hal ini antara umat Kristen terhadap umat beragama yang lain.

b.      Apa perbedaan Teologi Agama-Agama dengan Filsafat Agama. Filsafat agama merupakan refleksi filosofis mengenai agama dengan menggunakan metode filsafat secara sistematis dalam menganalisis isi pokok suatu agama, seperti:konsep Tuhan, Yang Suci, keselamatan, ibadah, kurban, doa, dan sebagainya. Filsafat agama berupaya mencari pembenaran rasional dari gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian terhadapnya sehingga bersifat normatif. Teologi agama-agama juga memberikan penilaian seperti filsafat, tetapi di dalam terang iman Kristen yang berupaya menilai agama-agama yang lain, bukan berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama melainkan penyataan Allah berdasarkan Alkitab.

c.       Fenomenologi agama adalah bidang studi yang berupaya melihat kepelbagaian agama secara fenomenologis. Fenomenologis artinya bagaimana pemeluk agama-agama berbicara tentang apa yang mereka yakini dan percayai sejauh dapat diamati (fenomena). Dalam fenomenologi, penilaian oleh pengamat dihindari dan keunikan tiap agama berusaha dipertahankan. Gejala-gejala yang diperbandingkan hanya untuk memperdalam pengertian dari gejala-gejala religius yang dipelajari. Sedangkan di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain dari perspektif kekristenan tidak dapat dihindarkan. Namun perlu disadari bahwa, semangat yang mendasarinya bukan semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks kemajemukan agama.

 

Teologi agama pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme. Teologi agama tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.  Teologi agama harus mempunyai pijakan pada realitas. Teologi agama merupakan untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah membuat dirinya relevan dengan keadaan, teologi agama merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan menjadi masa depan bersama. Dalam teologi agama kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Perumusan teologi agama dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut absen atau bahkan non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal.

Teologi agama harus benar-benar berpijak pada kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil yang positif. Sebab pada kenyataanya perbedaanajaran sering sekali menimbulkan gesekan karena menganggap dirinyalah yang paling benar. Seperti dikatakan Hendropuspito bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de fakto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah  yang menjadi penyebab utama dari benturan itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tetringgi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan (reference group), sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.

Setiap agama akan berapologetika untuk mempertahankan dan membela kebenaran agamanya terhadap serangan dari dalam dan luar agama tersebut. Apologetika yang sering digunakan adalah apologetika konfrontatif yaitu dengan menyerang hal yang dianggap menjadi titik lemah atau kekurangan agama lain. Dari sekian banyak polemic yang pernah terjadi dari masa ke masa dapat disimpulkan bahwa apologetika konfrontatif  yang bertujuan mencari menang sendiri dengan mengalahkan pihak lain belum pernah menghasilkan buah yang positif dalam perjalanan umat manusia.  Karena dalam hal kepercayaan orang tidak mau dikalahkan dengan argumentasi rasional melulu. Karena unsur-unsur nonrasional atau supra-rasional ikut memegang peranan penting dalam suatu agama.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa teologi agama-agama adalah suatu cabang ilmu teologi yang mengajarkan tentang sikap kekristenan dalam menganggapi keberagaman (pluralism) agama-agama yang ada di luar Kristen namun bukan dengan sikap yang konfrontatif tetapi sebaliknya dengan berusaha mengkonstruksi secara teologis sehingga tetap terjalin hubungan baik namun tetap pada identitas masing-masing.

  

B.     RUANG LINGKUP TELOGI AGAMA-AGAMA

Secara umum, ada tiga model pandangan teologi agama-agama yaitu:

1.      Eksklusivisme

Pandangan eksklusivisme memiliki pandangan eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan umumnya adalah kitab Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus Bonifasius VIII merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla salus” yang berarti “ di luar gereja tidak ada keselamatan”.

Teolog yang mewakili pandangan eksklusif adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Barth berpendapat bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan upaya manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah sendiri yang memperkenalkan DiriNya. Allah sudah memperkenalkan diriNya di dalam dan melalui Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang dipegangnya.

Hal senada, namun beda argumen disampaikan Kraemer, yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan kriteria satu-satunya yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama Kristen, dapat dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai satu-satunya kriteria dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan umum diakui keberadaannya, teologi naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri. Penyataan umum itu harus terkait dalam penyataan diri Yesus. Titik tolak Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan alkitabiah) yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah menunjuk pada kesaksian mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan mengenai agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya, yang masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama tidak ada kesinambungan.

2.      Inklusivisme

Pandangan inklusivisme yang berkembang sejak Konsili Vatikan II. Pandangan ini mengandung dialektika penerimaan dan penolakan agama-agama lain. Pada satu sisi, inklusivisme menerima adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, sehingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak sebagai yang tidak mencukupi bagi keselamatan, karena hanya dalam Krsitus saja ada keselamatan. Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis 10:34-35, Yoh 1:1-4.

Teologi agama-agama berpandangan inklusivisme ini dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi Konsili Vatikan II, Karl Rahner dan Hans Kung.

Yustinus Martir, bapa gereja abad kedua, terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos” (benih-benih logos/firman). Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat bahwa di dalam dunia ada logos spermatikos yang merupakan bagian dari kehadiran Allah memelihara ciptaanNya yang telah dirusakkan oleh dosa. Sejajar dengan filsafat Stoa, iayakin bahwa semua orang berpartisipasi dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi yang abadi, yang menjadi prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi kenyataan dasar alam semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos ilahi yang abadi. Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus dalam dunia yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama.

Pandangan inklusivisme lainnya, kita peroleh dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam dokumen Nostra Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi tentang sikap gereja (Katolik) terhadap agama-agama bukan Kristen. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam agama-agama lain, ada usaha menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai cara sambil menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan ibadat suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama, danmemandang dengan penghargaan yang jujur bahwa tidak jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua masnusia. Terhadap Hindu, Konsili Vatikan II memahami bahwa di dalam Hinduisme, manusia meneliti misteri ilahi lalu mengungkapkannya dengan perbendaharaan mitos yang luar biasa kaya dan dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan mencari pembebasan melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula dengan berpaling kepada Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme, ada diajarkan jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap pembebasan sempurna atau atau dapat menggapai pencerahan tertinggi dengan usaha-usaha sendiri atau dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam, yang menyembah Allah yang Maha Esa, Yang hidup dan ada, Yang Maha Pengasih dan Maha Kuasa, Pencipta, yang berbicara kepada manusia. Terhadap Yahudi, gereja Katolik mendorong persaudaraan dengan umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap anti Yahudi oleh fasisme Hitler masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta orang Yahudi.

Penganjur Inklusivisme, Karl Rahner, menggabungkan suatu teologi yang bersifat kristosentris dengan pengalaman keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan kriteria dari anugerah dan penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen disebutnya sebagai orang Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam empat tesis: agama Kristen ditujukan untuk semua orang, sehingga agama lain tak diakui; agama nonkristen menjadi saluran anugerah Allah dalam Kristus, sebelum Injil memasuki sejarah individunya; agama Kristen menghadapi agama lain sebagai Kristen anonim; orang Kristen sebagai barisan terdepan yang nyata dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh inklusif lainnya, Hans Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang memandang agama dari luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan akan kebenaran dalam agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam agama sendiri.

3.      Pluralisme

Pandangan Pluralisme yang tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1. Kor 15:28, sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama. Penganjur pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh agama; John Hick menganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith menekankan penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan teologis), karena Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas bersama-sama menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley Ariarajah menggeser tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami dari sudut bahasa iman, bahasa cinta.

 

Dari ketiga pandangan ini kita melihat ada pergeseran nilai-nilai kebenaran. Dimulai dari eksklusivisme yang menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Selanjutnya inklusivisme mulai memberi ruang bahwa adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, sehingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi namun untuk perkara keselamatan tetap hanya ada di dalam Kristus. Sementara pluralisme mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda.

Setiap agama memiliki konsep yang berbeda-beda tentang Tuhan (Theos). Berikut beberapa agama dan pandangannya:

1.      Hindu

Agama Hindu mulai dengan politeisme dan berakhir dengan panteisme. Semula di dalam Weda Samhita diakui adanya dewa yang bermacam-macam. Kata “dewa” semula memang berarti terang. Dewa adalah tokoh yang sifatnya terang serta membawa terang. Semula para dewa dianggap dekat sekali dengan kehidupan manusia, tetapi sekarang mereka tak diperlukan lagi. Akan tetapi karena kehiduupan keagamaan tak mungkin tanpa ber-Tuhan maka pada zaman ini timbullah dewa-dewa yang baru yang dipandang sebagai penyebab pertama alam semesta ini.

Michael Keene mengatakan bahwa Hinduisme adalah agama monoteisme yang pengikut-pengikutnya percaya pada satu Allah, yaitu Brahman (Roh yang mutlak), yang tak dapat dijangkau dan dimengerti oleh manusia. Ada berjuta-juta gambar yang membuat Brahman bias dilihat dan dikenal oleh para pemujanya.

2.      Budha

Di dalam agama Budha tidak ada gambaran yang jelas tentang Tuhan. Harun Hadiwijono mengatakan: “memang, harus diakui, bahwa sebutan Tuhan atau Tokoh yang dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah Nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamkan. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Dilihat dari keyakinan Kristen dapat dikatakan, bahwa Budha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang tidak jauh dari padanya”. Berdasarkan kenyataan, bahwa di dalam ajaran Budha manusia rindu akan kelepasannya serta mencari-cari “Yang tak dilihatnya”. Dapat dikatakan bahwa Buddhisme adalah suatu agama, dengan manusia berusaha  mencari Tuhannya.

3.      Yudaisme

Yudaisme adalah agama yang percaya kepada Allah yang Esa. Sejarah Yahudi dimulai sekitar 4000 tahun yang lalu sehingga Yudaisme menjadi agama monoteisme tertua, kecuali jika orang memperhitungkan Hinduisme. Antara agama Yudaisme dan Kristen memiliki akar sejarah yang sama, bahwa mereka menyembah Allah Abraham, Isak dan Yakub. Namun, bagi orang Yahudi yang beragama Yuidaisme bahwa apa yang di nubuatkan dalam Perjanjian Lama belum tergenapi sedangkan bagi orang Kristen telah tergenapi melalui Yesus Kristus. Jadi secara pandangan Kristen bias dikatakan bahwa kaum Yudaisme adalah umat yang sedang menanti-nanti penggenapan nubuatan dalam kita suci mereka yaitu TeNaKh.

4.      Kristen

Umat Kristen percaya bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah dan Putra Manusia – sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia dan tanpa dosa. Bahwa dalam keberadaanya sebagai “Firman”, Yesus telah ada sebelum segala sesuatu dijadikan tetapi dalam keberadaanya sebagai manusia ia da setelah dilahirkan oleh ibunya Maria. Umat Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Firman Allah yang telah menjadi manusia (Yoh. 1:14) dan Dialah yang menyelamatkan umatNya dari dosa-dosanya lewat kematian, kebangkitan dan kenaikanNya ke Sorga dan akan dating kembali menjemput orang-orang percaya.

5.      Islam

Islam adalah suatu kata Arab yang artinya “menyerah” dan seorang Muslim adalah “seorang yang menyerahkan dirinya kepada Allah”. Dipercayai bahwa dari waktu ke waktu Allah mengutus para nabi seperti Abraham, Musa dan Yesus (Isa) untuk memperlihatkan kepada umatNya bagaimana mereka harus hidup, tetapi pesan mereka sangat diabaikan. Akhirnya, Allah mengutus Muhammad, jajaran nabi yang terakhir dan terbesar dan mewahyukan kehendakNya kepadanya ke dalam sejumlah wahyu yang dicatat tanpa kesalahan, di dalam Al Qur’an. Secara pemahaman antara Islam dan Kristen banyak memiliki persamaan secara khusus tentang ajaran dalam Perjanjian Lama mulai dari penciptaan samapi perjalanan nabi-nabi. Jika diabil suatu perbandingan maka dalam ajaran Islam, Firman Allah yang ada bersama-sama dengan Allah turun (Nuzul) menjadi kitab suci Al Qur’an melalui Muhammad (buta huruf) yang bermeditasi di Gua Hira. Sedangkan dalam Kristen Firman Allah yang ada bersama-sama dengan Allah turun (Natal) menjadi manusia melalui Maria (perawan), dan sebagai manusia kepadaNya diberikan segala kuasa baik dilangit dan di bumi.

6.      Sikhisme

Sikhisme didirikan oleh Guru Nanak, yang menghormati agama Hindu dan Islam tetapi percaya bahwa kedua agama itu mengaburkan kebenaran tentang Allah. Sikhisme menekankan hubungan pribadi dengan Allah. Menurut Guru Nanak ada satu Allah yang berada baik di dunia maupun di atas dunia; ada putaran yang terjadi terus-menerus mengenai kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang harus dijalani manusia; tujuan akhir setiap njiwa manusia ialah ditariknya kembali kepada Allah yang dariNya manusia berasal; orang yang ingin kembali kepada Allah harus hidup teratur dengan menjalankan prinsip-prinsip moral tertentu.

7.      Konfusianisme

Konfusianisme mengajarkan bahwa surge dan bumi akan menjadi harmonis jika setiap orang mematuhi mereka yang berada di atas dan membagi dengan pantas kepada mereka yang berada di bawah. Konfusianisme mengajarkan bahwa semua kesadaran berakhir dengan kematian. Maka itu, sudah menjadi tugas manusialah untuk menghormati para leluhur mereka dan ada tempat pemujaan khusus untuk keperluan ini di dalam rumah atau di dalam kuil dimana persembahan di sajikan. Secara pandangan Kristen ajaran ini merupakan ajaran animisme yang berhubungan dengan leluhur-leluhur yang dihormati setelah kematiannya karena dipercaya masih memiliki andil dalam hidup manusia.

8.      Taoisme

Para penganut Taoisme mengikuti suatu jalan spiritual, atau Tao, yang dibentuk oleh para ahli piker Cina zaman dulu. Tao sebetulnya bukan sekedar jalan, melainkan juga sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tao dapat diceritakan bukanlah Tao yang kekal. Nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang kekal. Yang tak punya nama adalah asal mula surge dan bumi… pintu gerbang segala misteri.

9.      Zoroastrianisme

Zoroastrianisme adalah agama Persia kuno yang mengajarkan bahwa segala yang ada terlibat dalam perebutan yang tak henti-hentinya antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan. Sesungguhnya ada dua roh utama, kembar, yang diketahui selalu bertentangan. Dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, mereka ada dua yang baik dan yang jahat.

10.  Shintoisme

Shintoisme berasal dari Jepang dan berarti “jalan para dewa”. Nama ini ditetapkan pada abad keenam untuk membedakannya dari Buddhisme dan Konfusianisme, yang saat itu merupakan agama-agama pendatang. Ibadat kami – para dewa atau roh yang tak terhitung jumlahnya – merupakan pusat Shintoisme dan dilaksanakan baik di rumah maupun ditempat penujaanumum.

11.  Kepercayaan Baha’i

Kepercayaab Baha’I muncul dari agama Islam dan termasuk salah satu dari agama paling baru di dunia. Kepercayaan ini memberikan suatu pandangan bahwa dunia mengenai perdamaian dan cinta kasih di masyarakat yang diperintahkan oleh dasar-dasar agama di seluruh dunia. Sayyid Ali Muhammad (1819-1850) penganut Islam Shi’it, memaklumkan dirinya sebagai orang pertama dari jajaran para nabi baru setelah Muhammad. Orang baha’I percaya bahwa Allah, yang transenden dan tak dapat diketahui oleh pikiran manusia, telah mengutus banyak nabi untuk memberikan pencerahan kepada manusia.

 

            Dari sekian banyak agama (kepercayaan) semuanya memiliki konsep yang berbeda tennang yang ia percayai dan sembah. Semua meyakini bahwa ada suatu kuasa di luar manusia yang berkuasa atas alam semesta, namun semua memiliki penyataan yang berbeda-beda terhadap manusia itu sendiri.

 

 

KESIMPULAN

 

Dari uraian singkat di atas maka dapat diambil beberapa klesimpulan berkaitan dengan Teologi Agama-Agama dan Ruang Lingkupnya  sebagai berikut:

1.      Agama adalah suatu aspek yang sangat peting dalam kehidupan manusia, bagi berjuta-juta manusia, agama berada dalam kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat-saat yang paling menakutkan.

2.      Teologi agama-agama adalah suatu cabang ilmu teologi yang mengajarkan tentang sikap kekristenan dalam menganggapi keberagaman (pluralism) agama-agama yang ada di luar Kristen namun bukan dengan sikap yang konfrontatif tetapi sebaliknya dengan berusaha mengkonstruksi secara teologis sehingga tetap terjalin hubungan baik namun tetap pada identitas masing-masing.

3.      Tiga model pandangan teologi agama-agama mengalami pergeseran nilai-nilai kebenaran. Dimulai dari eksklusivisme yang menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Selanjutnya inklusivisme mulai memberi ruang bahwa adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, sehingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi namun untuk perkara keselamatan tetap hanya ada di dalam Kristus. Sementara pluralisme mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda.

4.      Setiap agama (kepercayaan) semuanya memiliki konsep yang berbeda tentang yang ia percayai dan sembah. Semua meyakini bahwa ada suatu kuasa di luar manusia yang berkuasa atas alam semesta, namun semua memiliki penyataan yang berbeda-beda terhadap manusia itu sendiri.

 

No comments:

Post a Comment