PERIKAHAN
DAN PERCERAIAN
Oleh: Pdt.
Nelson Sembiring, M. Th.
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan suatu hal
yang sangat sakral dalam kehidupan kekristenan, sebab Tuhan sendirilah yang
membentuk suatu rumah tangga, sebab Ia tahu tidak baik kalau manusia hidup
seorang diri saja, sehingga Tuhan berkata : Aku akan menjadikan penolong yang
sepadan dengan dia (Kej. 2 : 18). Namun, sering sekali keluarga yang telah
dibentuk diakhiri dengan sebuah perpisahan yang lazim disebut perceraian.
Padahal keluarga tersebut tahu bahwa Tuhan sangat membenci perceraian (Mal.
2:16).
Pernikahan merupakan unit masyarakat
yang paling dasar dan berpengaruh di dunia. Adalah sulit untuk menaksir terlalu
tinggi pentingnya pernikahan, tetapi setiap tahun di Amerika Serikat terdapat
kita-kira separo perceraian dari pernikahan yang ada. Mengingat hal ini, adalah
perlu bagi kita untuk mempertimbangkan dasar alkitabiah untuk pernikahan dan
perceraian (Etika Kristen, Norman L. Geisler, hal. 353).
Apa yang dikatakan oleh Norman di
atas tentu tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, menurut pengamatan penulis
bahwa tingkat perceraian di Indonesia semakin hari semakin bertambah. Menurut Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan
Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren
perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak
tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20
persen.
Memang tidak dirinci dari agama mana saja yang terlibat dalam kasus perceraian yang mengalami kenaikan tersebut. Namun, jika kita melihat Kristen sebagai agama terbesar ke dua di Indonesia maka dapat dipastikan bahwa orang Kristen yang bercerai juga pasti berada di urutan yang ke dua. Oleh karena itu, penulis setuju dengan pernyataan Norman bahwa perlu bagi kita untuk mempertimbangkan dasar alkitabiah untuk pernikahan dan perceraian
PEMBAHASAN
A. Pandangan
Alkitabiah Mengenai Pernikahan
Baik natur maupun lamanya
pernikahan itu penting dari perspektif Kristen. Pernikahan adalah suatu
komitmen kekal antara seorang laki-laki
dan seorang wanita yang melibatkan hak-hak seksual secara timbal balik.
Sedikitnya terdapat tiga unsur dasar mengenai pernikahan dalam konsep
alkitabiah.
Pertama,
pernikahan
adalah antara seorang pria dan wanita.
Pernikahan alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dan seorang
wanita biologis. Hal ini jelas dari sejak mulanya.allah menciptakan “laki-laki
dan perempuan” (Kej. 1:27) dan memerintahkan mereka untuk “beranakcucu dan
bertambah banyak” (ayat 28).
Kedua, pernikahan
melibatkan kesatuan seksual. Jelaslah pula dari Kitab Suci bahwa pernikahan
melibatkan kesatuan seksual. Hal ini demikian adanya karenan beberapa alas an.
Pernikahan disebuat satu kesatuan dari “satu daging”. Bahwa di dalam pernikahan
terdapat seks adalah jelas daripenggunaanya oleh Paulus di dalam 1 Korintus
6:16 di mana Paulus menggunakan frase yang sama untuk mengutuk pelacuran.allah
memerintahkan bahwa “laki-laki dan perempuan” yang Dia ciptakan akan
memperbanyak anak (Kej. 1:28). Hal ini mungkin hanya melalui kesatuan seksual
antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Singkatnya, pernikahan
melibatkan hak untuk kesatuan seksual antara laki-laki dan perempuan.hubungan
seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kis.15:20, 1 Kor. 6:18) dan
hubungan seksual di luar pernikahan disebut perzinahan (Kel.20:14, Mat. 19:9).
Ketiga, pernikahan
melibatkan satu perjajnian di hadapan Allah. Pernikahan bukan hanya satu
kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang melibatkan hak-hak perkawinan
(seksual), tetapi merupakan satu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian
dari janji-janji yang timbale balik. Komitmen ini tersirat dari sejak mulanya
di dalam konsep meninggalkan orang tua dan bersatu dengan isterinya. Janji
pernikahan dinyatakan paling gambling oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis : TUHAN
telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau
telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu
(Mal. 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang pernikahan sebagai suatu
“perjanjian” atau komitmen satu sama lain. kitab ini mengutuk penzinah “yang
meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya (Amsal
2:17).
Alkitab sangat jelas mengenai
lamanya pernikahan.ini merupakan komitmen sepanjang hidup.pernikahan dirancang
sekali untuk seumur hidup tetapi bukan untuk kekekalan. Pernikahan merupakan
komitmen sepanjang hidup. Natur pernikahan sepanjang hidup diminta dalam konsep
kepermanenan di dalam pernikahan yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Dia
berkata” Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia
(Mat. 19:6). Pernikahan tidak bersifat kekal. Sementara pernikahan merupakan
satu perjanjian yang berlaku seumur hidup di hadapan Allah,pernikahan tidak
meluas sampai kekekalan. Karena seperti yang dijelaskan Yesus, “karena pada
waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup
seperti malaikat di sorga” (Mat.22:30). Meskipun kita pasti dapat mengenali
orang-orang yang kita cintai di sorga, tidak aka nada pernikahan di sorga.
Lebih jauh lagi, fakta bahwa para janda dapat menikah lagi (1 Kor. 7:8-9)
menunjukkan bahwa komitmen mereka hanyalah sampai kematian pasangan mereka.
Ada fatka lain yang disepakati orang-orang
Kristen: pernikahan itu bersifat monogamy.pernikahan adalah untuk satu suami
dan satu isteri. Paulus berkata : “baiklah setiap laki-laki [bentuk tunggal]
mempunyai isterinya sendiri [bentuk tunggal] dan setiap perempuan mempunyai
suaminya sendiri” (1 Kor. 7:2).
Kalau monogami merupakan perintah
dari Allah untuk pernikahan, lalu mengapa Dia nampaknya menyetujui poligami?
Banyak orang-orang kudus yang besar dalam Perjanjian Lama berpoligami, termasuk
Abraham, Musa dan Daud. Sungguh Salaomo memiliki tujuh ratus isteri dan tiga
ratus gundik (1 Raj.11:3)! Sebagai tanggapan, harus dicatat bahwa Alkitab tidak
menyetujui segala sesuatu yang tercatat didalamnya,paling tidak secara
eksplisit. Berbeda dengan opini yang tersebar luas, Alkitab berbicara keras
menentang poligami baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. (Etika
Kristen, Norman L. Geisler, hal. 353-358).
B.
Beberapa Pandangan
Kristen Mengenai Perceraian
Ada kesepakatan umum di antara
orang-orang Kristen tentang natur pernikahan. Di lain pihak, kesepakatan umum
mengenai perceraian lebih sulit untuk didapatkan di antara orang-orang Kristen.
Tetapi, ada beberapa bidang kesepakatan umum di antara orang-orang Kristen
mengenai perceraian. Sedikitnya ada tiga yang dapat dicatat.
Pertama, perceraian bukanlah ideal
Allah. Jelas bahwa Allah tidak merancang perceraian. Sebenarnya, Allah
berfirman kepada Maleakhi, “Aku membenci perceraian” (Mal. 2:16). Yesus berkata
Allah mengizinkan tetapi tidak pernah memaksudkan perceraian (Mat. 19:8). Allah
menciptakan satu suami untuk satu istri dan menginginkan agar mereka berdua
memelihara sumpah mereka sampai mati. Yesus berkata dengan tegas, “Apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6). Jadi,
bagaimanapun juga perceraian itu, ini bukanlah rancangan Allah yang sempurna
untuk pernikahan. Hal ini jauh lebih ideal. Ini bukanlah satu norma atau standar.dengan
kata lain, perceraian bukanlah yang terbaik untuk pernikahan.
Kedua, perceraian tidak diperbolehkan
karena setiap alasan. Orang-orang Kristen pada umumnya juga setuju bahwa
perceraian tidak diperbolehkan karena alasan apapun. Memang, Yesus ditanya
tentang masalah ini: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alas an apa saja?” jawaban Yesus tegas yaitu tidak. Karenan jawaban Yesus
adalah demikian, “Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya,
kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (mat.
19:9).apapun ketidaksepakatan yang dimiliki orang-orang Kristen mengenai
perkecualiandisini, jelaslah bahwa dia tidak memercayayi bahwa seseorang dapat
bercerai karena alas an apapun.
Ketiga,
perceraian menciptakan masalah-masalah. Bahkan orang-orang yang percaya
perceraian kadang dibenarkan bagi orang-orang Kristen mengakui bahwa,
bagaimanapun juga masalah ini dipecahkan, perceraian menciptakan
masalah-masalah. Meskipun perceraian nampaknya menghindarkan kemalangan bagi
beberapa orang, perceraian bukanlah tanpa masalah-masalah. Selalu ada harga
untuk membayar mahalpasangannya, untuk anak-anak dan di dalam keluarga serta
hubungan masyarakat. Perceraian meninggalkan goresan yang buruk yang tidak mudah
disembuhkan (Etika Kristen, Norman L. Geisler, hal. 358-359).
Apa yang di jelaskan Norman di
atas merupakan suatu kebenaran tentang pernikahan sesuai dengan prinsip
alkitabiah. Dalam hal ini penulis setuju dengan semua yang dijelaskan. Dengan
maksud yang sama dan bahasa yang berbeda penulis mengatakan bahwa prisip
pernikahan dalam kekristenan adalah:
1.
Keduanya
adalah pasangan yang sepadan.
Apakah makna sepadan dalam hal ini? Tentu yang
sepadan dalam hal ini tidak mengacu kepada kecocokan secara jasmani (fisik,
pendidikan, status sosial, dll) namun lebih mengarah kepada perkara rohani.
Sepadan secara rohani berarti bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang akan membentuk suatu rumah tangga haruslah kedua-duanya orang percaya, sebab
jika salah satu orang percaya dan yang lain tidak, maka itu bukanlah pasangan
yang sepadan seperti dikatakan dalam 2 Kor. 6:14 Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan
orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran
dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Suatu
perbandingan yang sangat kontras di pakai oleh Tuhan yaitu terang dan gelap yang
tidak akan pernah dapat bersatu sampai kapan pun. Dan jelas Tuhan sendiri
sangat tidak terima ketika anak-anakNya memilih orang-orang yang tidak percaya
menjadi pasangan hidupnya, hal ini ditunjukkan dengan suatu rasa penyesalan
Tuhan dan pilu hatiNya ketika melihat anak-anakNya mengambil isteri dari orang
yang tidak percaya (Kej.6:1-2, 6). Jadi, jelas bahwa pasangan yang akan menikah
haruslah pasangan yang sepadan secara rohani.
2.
Pernikahan
bersifat monogami
Tuhan tidak pernah membuat aturan pernikahan lebih
dari satu isteri atau suami (poligami), namun dari semula Tuhan menetapkan
pernikahan yang monogami. Ketika Tuhan menjadikan Hawa maka yang diambil satu rusuk Adam bukan dua atau lebih, dan dari rusuk yang satu
itu dibentukNya seorang perempuan
bukan dua orang atau lebih (Kej.2:21-22). Ini berarti bahwa Tuhan
menetapkan monogami dalam pernikahan Kristen. Pada bagian yang lain dikatakan
bahwa Dan Firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat.19:5-6). Dari ayat ini jelas
bahwa dua menjadi satu, bukan tiga atau empat menjadi satu.
Banyak orang bertanya, kalu memang benar monogami mengapa banyak tokoh di
Alkitab memiliki isteri lebih dari satu? Benar memang banyak tokoh yang
demikian, tetapi jelas kita juga bisa melihat bahwa Tuhan tidak pernah
membenarkan tindakan mereka, bahkan yang kita lihat bahwa ketika mereka memilih
untuk berbuat yang salah dimata Tuhan maka akan datang masalah di dalam
kehidupan mereka. Jadi, jelas pernikahan Kristen bersifat monogami, sehingga
tidak ada alasan apapun yang membuat orang untuk menambah jumlah isteri atau
suaminya.
3.
Tidak
dibenarkan bercerai dalam pernikahan Kristen
Masalah perceraian merupakan masalah yang cukup
menarik perhatian dikalangan orang Kristen, sebab ada sebagian gereja yang
tetap mengizinkan untuk memberkati orang-orang yang jelas statusnya bercerai
dengan isterinya kemudian menikah lagi. Tentu kita tidak berpedoman kepada ajaran
gereja namun kembali kepada firman Tuhan bahwa apa yang telah dipersatukan
Tuhan tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:6), bahwa seorang isteri tidak
boleh menceraikan suaminya dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya
(1 Kor. 7:10-11). Bahkan dengan Jelas
Tuhan mengatakan bahwa Ia sangat membenci perceraian (Mal. 2:15). Jadi, jelas
bahwa dalam pernikahan Kristen tidak dibenarkan ada perceraian kecuali oleh
karena kematian.
4.
Suami-isteri
sederajat dihadapan Tuhan
Banyak pandangan bahwa lelaki (suami) memiliki
derajat yang lebih tinggi di banding dengan perempuan (isteri). Padahal dari
sejak semula Allah menciptakan manusia itu sederajat dihadapanNya. Lelaki dan
perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1 : 26-27), ini berarti
bahwa tidak ada perbedaan derajat laki-laki dan perempuan di mata Allah. Bahkan
pada bagian lain Firman Tuhan mengatakan bahwa: Dalam hal ini tidak ada orang
Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus
(Gal. 3:28). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang laki-laki ditetapkan
Allah sebagai pemimpin(kepala) di dalam suatu rumah tangga (Ef. 5:22-23) tetapi
ini tidaklah menunjukkan kepada kedudukan laki-laki dan wanita di hadapan Allah
sebab itu lebih mengacu kepada hubungan Kristus dengan jemaat, dimana kristus
adalah adalah kepala atas jemaat.
5.
Suami-isteri
menjadi satu di dalam Tuhan
Banyak sekali kita melihat
keluarga Kristen mengalami permasalahan yang berujung pada perceraian. Hal yang
paling sering menjadi alasan mengapa memilih jalan ini adalah karena satu sama
lain sudah merasa tidak ada kecocokan. Ketika ditanya mengapa tidak ada
kecocokan, maka jawaban yang paling sering muncul adalah terlalu banyak
perbedaan. Apakah yang salah dengan perbedaan? Tidak ada yang salah dengan
perbedaan itu, sebab Tuhan menjadikan memang berbeda dan Tuhan tidak pernah
mengatakan keduanya akan menjadi sama tetati Tuhan berfirman: Sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (Mat.19:5-6). Jadi antara seorang laki-laki dan
perempuan bukan diminta menjadi sama
tetapi menjadi satu, sehingga jika
keduanya menyadari hal tersebut maka setiap perbedaan yang ada tidak akan
menjadi suatu masalah tetapi mejadi suatu keindahan dalam suatu rumah tangga.
KESIMPULAN
Allah memaksudkan pernikahan
menjadi satu komitmen seumur hidup antara satu pria dan satu wanita. Sementara
hubungan pernikahan tidak meluas sampai kekekalan,pernikahan dimaksudkan untuk
keseluruhan waktu kita bersama-sama di dunia.perceraiantidak pernah dibenarkan,
bahkan karena perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan Allah tidak menyetujui
dosa maupun terputusnya pernikahan. Apa yang disatukan Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Mat. 19:6).
Pernikahan adalah lembaga yang
sakral dan tidak boleh dicemarkan oleh perceraian. Oleh karena itu, orang-orang
Kristen haruslah melakukan segala sesuatu denga sekuat tenaga untuk
mengagungkan standar Allah mengenai pernikahan monogamy seumur hidup.
SARAN
Oleh karena kesakralan
sebuah pernikahan, maka sangat penting untuk dipahami bahwa:
1.
Setiap
pribadi yang ingin membentuk suatu rumah tangga harus benar-benar menggumuli
dan mendoakan agar benar-benar mendapatkan pasangan yang memang berasal dari
Tuhan bukan karena keinginan semata dari pribadi yang mau menikah.
2.
Kepada
lembaga gereja agar benar-benar melaksanakan pastoral konseling pra nikah bagi
jemaat yang akan membentuk suatu rumah tangga. Artinya bimbingan bukan
dilaksanakan hanya sebagai suatu kebiasaan di sebuah gereja kepada jemaat yang
mau menikah, tetapi dilaksanakan sebagai suatu pedoman yang benar-benar
merupakan dasar dalam membangun suatu rumah tangga yang benar-benar diinginkan
oleh Tuhan.
No comments:
Post a Comment