Thema : Membangun Kebahagiaan
Nats : Maz. 32:1
Oleh : Pdt. Nelson Sembiring, M. Th.
1. PENDAHULUAN
Banyak keluarga Kristen yang merasa kehidupannya kurang bahkan
tidak berbahagia. Bahkan tidak jarang memilih untuk diam satu dengan yang lain,
hidup berjauhan, bahkan lebih lagi ada yang memilih mengakhiri hubungan (bercerai),
walaupun itu jelas merupakan hal yang sangat dibenci oleh Tuhan. Memang tidak
mudah untuk membangun sebuah keluarga yang berbahagia dan harmonis, itu adalah
perjuangan seumur hidup. Selintas kita melihat keluarga-keluarga Kristen baik-baik
saja atau dengan kata lain berbahagia. Tapi fakta yang sesungguhnya sering kali
berbanding terbalik. Istri tidak merasa bahagia, suami juga merasa kecewa bahkan
anak-anak merasa tidak dipedulikan. Bagaimana membangun kebahagiaan. Mari kita
belajar bersama.
2. ISI
Bagaimanakah
cara membangun kebahagiaan keluarga?
· Secara teologis
Ø Memiliki dasar kebahagiaan yang jelas
“Berbahagialah orang
yang diampuni
pelanggarannya, yang dosanya ditutupi” (Maz. 32:1). Jika dasar suatu
bangunan itu kokoh, maka angin dan badai takkan membuat ia roboh. Saat
suami/istri menyadari bahwa hal utama kebahagiaannya adalah karena sudah ditebus oleh
Kristus, maka mereka akan tetap berbahagia walau pasangannya belum seperti yang
diharapkan. Jika dasar kebahagian suami adalah istri dan sebaliknya, maka
mereka akan terus saling mengecewakan.
Ø Memilki aktivitas kebahagiaan yang benar.
“Berbahagialah ia yang
membacakan
dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini,
dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya
sudah dekat” (Why. 1:3). Paulus berkata: Marilah kita melakukannya dengan mata
yang tertuju kepada Yesus (Ibr. 12:2a). Fokus kebahagian suami bukan istri
demikian juga sebaliknya. Jika fokusnya pasangan, pasti sering tidak bahagia.
· Secara Praktis
Ø Saling memenuhi kewajiban (1 Kor. 7:3)
Kewajiban suami adalah
bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga (Kej. 3:17) dan perempuan harus
mengurus rumah tangga dengan baik (31:15). Kewajiban anak-anak adalah menaati
orangtuanya (Ef. 6:1). Kalau suami malas bekerja, maka tidak bisa disalahkan
kalau istri uring-uringan. Demikian juga kalau istri tidak mengurus rumah
tangga dengan baik tidak bisa disalahkan kalau suara suami meninggi.
Ø Suami istri saling mengerti (Rm. 12:16)
Dalam hal ini
suami-istri harus memikirkan hal-hal praktis yang bisa membuat mereka berdua
berbahagia, bahkan juga anak-anak. Misalnya berenang bersama, makan-minum
bersama, jalan keluar bersama, dll. Suami harus mengerti kalau istrinya
memiliki keinginan/hobi yang tidak menyalahi aturan dan isteri juga harus
demikian. Isteri harus menerima keputusan yang diambil oleh suami tentang suatu
hal selama itu tidak melanggar kebenaran dan mendatangkan hal yang buruk, walau
mungkin tidak sepenuhnya bisa diterima istri. Sebab jika masing-masing membuat
keputusan sendiri, maka itu bukan keluarga. Karena tidak mungkin ada dua pemimpin di
sebuah keluarga.
3. PENUTUP
Kebahagian utama suami bukanlah isteri, kebahagiaan utama istri
bukan suami, kebahagian utama suami-istri bukan anak-anak. Kebahagiaan utama
anak-anak juga bukan orang tua. Kebahagiaan utama semuanya adalah TUHAN. Walaupu
mereka sedang tidak bahagia oleh karena pasangan atau anak-anak, mereka harus
tetap berbahagia karena TUHAN.
No comments:
Post a Comment